Fashohah
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Tidak bisa dipungkiri bahwa seseorang untuk bisa membaca al-Quran dengan baik dan benar harus melalui kaidah-kaidah atau cara-cara yang telah ditetapkan oleh ahli tajwid sehingga dia bisa membacanya dengan fasih dan benar. Jika tidak memang yang terjadi adalah kesalahan yang dikhawatirkan akan mengubah makna ayat al-Quran itu sendiri. Sebagaimana peristiwa yang dialami oleh Abu Aswad al-Du‟ali ketika mendengar sebagian ayat al-Quran hingga mengubah arti dari kalimat dalam al-Quran tersebut.
Definisi fasih dalam bahasa Arab dapat dilihat dari berbagai aspek yang masing-masing memiliki definisi khas tersendiri sehingga antara satu dengan yang lain cenderung berbeda. Sebagai contoh definisi fasih dalam bahasa Arab yang dijelaskan dalam ilmu balaghah akan berbeda dengan apa yang dijelaskan dalam ilmu nahwu. Karena beberapa pertimbangan, penulis membatasi diri untuk mengkaji tentang fasih menurut kalangan ahli balaghah. Dengan demikian dari penulisan ini diharapkan dapat menambah wawasan tentang makna fashahah dalam bahasa Arab.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
1. Apa pengertian fashahah menurut bahasa dan istilah?
2. Apa saja macam-macam fashahah?
1.3. Tujuan Pembuatan Makalah
Agar pembaca dapat mengetahui dan memahami :
1. Pengertian fashahah.
2. Mengetahui macam-macam fashahah.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Fashahah
Fashahah berarti menampakkan perkara secara jelas dan terang. Suatu contoh, seorang anak kecil akan dikatakan fashih saat ia sudah dapat berbicara dengan jelas dan terang.
Dalam bahasa Arab disebut ف صاحة (Al Fashahah artinya terang atau jelas. Suatu kalimat dinamakan fasih apabila kalimat itu terang pengucapannya, jelas artinya dan bagus susunannya.
Artinya: “Adapun Fashahah dari asal bahasanya yaitu tampak dan jelas, seperti perkataan mereka: “Fulan telah fasih/jelas ketika dia menampakkan dirinya..”2
Sebagaimana firman Allah SWT dalam al-Quran yang mengisahkan pernyataan nabi Musa tentang nabi Harun:
ف ص ا ا ف ا ص ا
“Dan saudaraku Harun, dia lebih jelas perkataannya dibandingkan aku….” (QS. al-Qashash [28]: 34)
Kata „‟ ف ص ’’ pada ayat di atas berarti “lebih jelas cara berfikir dan bertutur kata”
Definisi yang lain menurut Ali al-Jarim dan Mustafa Amin mengatakan: “fashahah maknanya jelas dan terang. Anda berkata, “afshahahas subhu”, yakni pagi telah terang. Kalimat yang fasih adalah kalimat yang jelas maknanya, mudah bahasanya, dan baik susunannya. Oleh karena itu setiap kata dalam kalimat yang fasih itu harus sesuai dengan pedoman sharaf, jelas maknanya, komunikatif, mudah lagi enak. Suatu kata akan mencapai kriteria itu bila sering dipakai oleh para penulis dan penyair yang peka karena tidak ada kata yang terungkap melalui lisan dan tulisan mereka kecuali memenuhi kriteria kefasihan dan keindahan tersebut.
Makna fashahah secara istilah, terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama Nahwu dan Balaghah. Perbedaan ini bisa dipahami karena memang berbedanya kajian kedua bidang ilmu tersebut. Ulama Nahwu mensyaratkan kefasehan bahasa Arab dengan standar kebenaran secara kaidah bahasa Arab. Artinya, orang yang disebut fasih dalam berbicara bahasa Arab adalah dia yang tidak melenceng dari kaidah bahasa yang sudah ditentukan.
Sementara ulama Balaghah menjadikan tiga standar utama untuk menilik kefasehan bahasa Arab : dari aspek kata, kalimat dan pembicara. Dari beberapa definisi fashahah diatas, dapat ditarik pengertiannya yakni fashahah dapat diartikan jelas dan terang dari sisi kata dan kalimat serta si pembicaranya. Kalimat dalam bahasa Arab dikatakan fasih ketika memiliki kejelasan makna, mudah bahasanya serta susunanya sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa Arab yang telah disepakati. fashahah menjadi sifat dari ةال ك لم , مال ك لا dan مال م ت كل yang akan dijelaskan macam-macamnya dibawah ini. 2.2. Macam – macam fashahah. 2.2.1. Fashahatul kalimat ( kalimat yang fashiih ) Suatu kalimat ( Kosakata ; bahasa Indonesia ) dikategorikan sebagai kalimat yang fashiih apabila kalimat tersebut selamat dari : A. Tanafurul huruf. B. Mukhalafatul qiyas C. Ghorobah. A. Tanafurul huruf Yaitu sifat yang terdapat di dalam suatu kalimat yang menyebabkan kalimat tersebut sulit dan berat untuk diucapkan oleh lisan. Hal demikian dapat diketahui dengan naluri perasaan yang normal. Contoh : الظَّ صُّ : sebutan bagi tempat yang kasar. اَلْهُؼْخُغ : sebutan bagi tanaman yang dimakan onta. الن قَاخ : sebutan bagi air tawar yang bersih. المُسْتَطْزِر : sebutan bagi rambut yang digulung. Lisan orang - orang Arab merasa kesulitan dalam mengucapkan lafadz – lafadz di atas dikarenakan susunan huruf dan tata letak syakal ( harokat ) yang kurang ideal dan proporsional ( terjadi tanafurul huruf ). Oleh karena itu, empat kalimat di atas tidak termasuk kalimat yang fashih. Contoh lain dalam bahasa jawa adalah kata “ rol – rolan “. Bagi mayoritas lisan orang Jawa sangatlah sulit untuk mengucapkan kata tersebut dengan fashih, dikarenakan ketidak idealan susunan huruf dan tanda bunyi yang terdapat di dalam kalimat tersebut.
B. Mukhalafatul qiyas
Yaitu kalimat tersebut tidak sesuai dengan kaidah – kaidah ilmu sharaf. Hal demikian dapat diketahui dengan merujuk pada kaidah – kaidah ilmu sharaf.
Contoh :
Al Mutanabi berkata : ا ا ا ☼ ف ا ا ة
Bila sebagian orang – orang itu menjadi pedang bagi Negara, maka di antara mereka akan ada yang menjadi terompet – terompet dan genderang – genderangnya. Dalam syair Al Mutanabi di atas terdapat lafadz بىقات ( jamak muannats salim dari lafadz بىق ). Lafadz بىقات tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai lafadz ( kalimat ) yang fashih karena tidak sesuai dengan kaidah ilmu sharaf. Menurut kaidah ilmu sharaf, kalimat بىق tidak memenuhi syarat untuk dibuwat menjadi jamak muannats salim. Akan tetapi kalimat tersebut hanya dapat dijamakkan dengan jamak taksir ; ابىاق . Di dalam syair yang lain al Mutanabi berkata : ة م ص مال ☼ ز ه ئام
Kalimat مىددة pada syair di atas juga tidak termasuk kalimat yang fashih. Menurut kaidah I‟lal & Ibdal dalam ilmu sharaf, dua huruf dal tersebut harus diidghomkan ; مىدّة . C. Ghorobah Berarti kalimat tersebut tidak menampakkan arti secara jelas dan jarang digunakan sehingga terdengar asing. Hal demikian dapat kita ketahui dengan memperbanyak menela‟ah bahasa arab. Contoh : تَكَأكَْأَُّ Bermakna اِجْتَمَغَُّ ( berkumpul ) اِفْرَنْقَغَُّ Bermakna اِنْصَرَفَُّ ( berangkat ) اِطْلَخَمَُّّ Bermakna اِضْتَذَُّّ ( dahsyat Ketiga kalimat di atas (تَكَأكَْأَُّ , اِفْرَنْقَغَُّ & اِطْلَخَمُّّ ) termasuk dalam kategori asing karena dalam percakapan orang Arab ketiga kalimat tersebut sangat jarang digunakan. Seperti contoh dalam bahasa Jawa “ geneyo “ bermakna bagaimana. Kata “ geneyo “ adalah kosakata asli penduduk Pacitan. Apabila kata tersebut terdengar di luar daerah Pacitan ( Pekalongan, Indramayu, Banyumas dll ) maka akan terkesan asing dan tidak jelas dalam menunjukkan makna yang dikehendaki oleh orang yang mengucapkannya. 2.2.2. Fashahatul Kalam ( Kalam yang fashiih ) Suatu kalam ( Kalimat ; bhs. Indo ) dikategorikan sebagai kalam yang fashiih apabila kalam tersebut selamat dari : A. Tanafurul kalimat. B. Da‟fut Taklif. C. Ta‟qid. A. Tanafurul Kalimat Tanafurul kalimat adalah suatu sifat yang terdapat di dalam kalam yang menyebabkan kalam tersebut sulit dan berat untuk diucapkan oleh lisan. Hal semacam ini dapat diketahui dengan naluri perasaan yang normal. Contoh : وليسَ قُُّرْبَ قَُّبْرِ حَُّرْبٍ قَُّبْر ☼ رَُّفْغُِّ ػَُّرْشِ اُّلطَّرْعِ يَُّطْرَع
كَرِيْمٌ مَُّتَ أًَُّمْذَحْوُ أَُّمْذَحْوُ وَُُّّ مَُّؼِ وًَُّاِرَا مَُّالُمْتُو لُُّمْتُو وَُّحْذِي ☼
Susunan kata yang bergaris bawah di atas merupakan contoh kalam yang tidak fashiih karena susunan dan pilihan kata yang tidak ideal dan proporsional sehingga menyebabkan lisan orang Arab kesulitan dalam pengucapannya. Seperti contoh dalam bahasa Jawa “ kidul rel lor rel “. Bagi lisan orang Jawa kalimat tersebut sulit untuk di ucapkan dengan fashiih disebabkan susunan dan pilihan kata yang tidak ideal dan kurang proporsional. B. Da‟fut Taklif Da‟fut taklif berarti kalam ( susunan kalimat ) tersebut tidak sesuai dengan kaidah – kaidah penyusunan kalam yang berlaku dalam ilmu nahwu. Seperti mendahulukan dhamir ( kata ganti ) sebelum menyebutkan marji‟nya ( tempat kembalinya dhamir ). Contoh : ما ك ما ح ف ☼ ا ك
Letak dlamir هُُّ pada lafadz بَنُىْه mendahului marji‟nya ; أَبَا اُّلْغِيْلان , hal demikian tidak sesuai dengan kaidah penyusunan kalam yang berlaku dalam ilmu Nahwu. Oleh karena itu, kalam di atas tidak dapat dikategorikan sebagai kalam yang fashih. Menurut kaidah ilmu Nahwu, letak dlamir harus setelah penyebutan marji‟nya, sehingga mukhathab dapat dengan mudah menemukan marji‟ dlamir tersebut. C. Ta‟qid Ta‟qid berarti kalam tersebut masih samar – samar dalam olehnya menunjukkan makna yang dikehendaki. Hal demikian menyebabkan mukhathab kesulitan dalam memahami maksud perkataan mutakalim. Ta‟qid ada dua macam : 1. Ta‟qid Lafdzi Ta‟qid Lafdzi adalah ta‟qid yang disebabkan oleh keruwetan dalam susunan lafadz. Seperti taqdim ( mendahulukan lafadz yang seharusnya terletak di ahir ), takhir ( mengahirkan lafadz yang seharusnya terletak di awal ), washal ( menyambung suatu lafadz setelahnya ), fashal ( memisah suatu lafadz dengan lafadz setelahnya ) dan sebagainya. Contoh : Al Mutanabi berkata : ا م ل م م م
“Kemegahan tapi mereka tidaklah sombong dengan kemegahan itu telah ada pada mereka martabat mulia yang menunjukkan. “. Susunan yang seharusnya adalah : ا ل م م م
“ Kemegahan telah ada pada mereka yang menunjukkan martabat mulia. Tapi mereka tidaklah sombong dengan kemegahan itu “.
Contoh lain dalam bahasa Indonesia : “ dan pergi ayah saya ibu pasar, ke bersama”. Kalimat di atas sangatlah ruwet dan sulit dipahami maksudnya. Karena susunan kata pada kalimat tersebut yang acak – acakkan, mendahulukan kata yang seharusnya diakhirkan dan mengakhirkan kata yang seharusnya didahulukan dan peletakan tanda baca koma ( untuk menyambung dan memisah ) yang tidak tepat. Sedangkan susunan yang benar adalah : “ Saya, ayah dan ibu pergi ke pasar bersama “. Da‟fut taklif dan ta‟qid lafdzi ini dapat diketahui dengan ilmu nahwu. 2. Ta‟qid Ma‟nawi Ta‟qid ma‟nawi adalah ta‟qid ( keruwetan makna ) yang disebabkan oleh penggunaan majaz ( kiasan – kiasan ) dan kinayah ( perumpamaan ) yang tidak mudah dipahami maksudnya. Contoh : م ف م ة
“ Raja telah menyebarkan lidah – lidahnya di kota. “ Sebenarnya mutakalim hendak mengatakan “ Raja telah menyebar mata – matanya di kota “, sehingga lafadz أَلْسِنَتَوُ tidak tepat jika digunakan sebagai kiasan dari katamata – mata. Akan tetapi kata yang tepat untuk digunakan sebagai kiasan dari katamata – mata adalah lafadz ػُيُىْنَو . Jadi, susunan yang benar adalah : م ف م ة
“ Raja telah menyebarkan mata – matanya di kota. “ 3. Fashahatul Mutakallim ( Mutakallim fashiih ) Fashahah al-Mutakallim م ف صاحة merupakan kecakapan atau karakter seseorangyang mampu dalam mengungkapkan maksud dan tujuannya dengan kalam fasih dalam keadaan semua kondisi dan situasi. Adapun setelah kalimah (kata) sudah fasih, kemudian kata-kata tersebut disusun menjadi kalam (kalimat) fasih yang sesuai dengan tuntutan keadaan ( ق ض ال(
.(Inilah yang dinamakan dengan (م ل كلاب لاغة ) sedangkan orang yang mampu mengungkapkan kalam fasih yang sesuai dengan tuntutan keadaan (ق ض ال ) disebut dengan ما م ت كل ب لاغة Adapun yang dimaksud dengan adalah لا حا keadaan yang mendorong
mutakallim untuk mengungkapkan ibaroh dengan bentuk tertentu. ي م ق تض tuntutan dalam penyampaian perkataan yang sesuai dengan keadaan tertentu. Adalah suatu bakat yang menjadikan mutakallim mampu mengutarakan maksudnya dengan kalam yang fashih pada setiap tujuan. Fashahah dapat pula diartikan sebagai implementasi makna melalui lafazh-lafazh yang jelas, yang meliputi : 1. Kemudahan pelafalan. 2. Kejelasan makna (tidak gharib). 3. Ketepatan sharaf. 4. Ketepatan nahwu
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Dari pemaparan di atas kiranya dapat diambil kesimpulan yaitu:
Sebuah kalimat dapat dikatakan fasih apabila jelas kata-katanya yaitu sesuai kaidah i‟rab, mudah dan baik susunannya, serta makna yang terkandung dalam kalimat tersebut jelas
atau mudah dipahami.
Fashahah dapat dipilah-pilah menjadi fashahah dalam segi kata, kalimat, dan dilihat dari
pembicaranya.
Bahasa Al-Quran seringkali bersajak dan puitis sehingga ayat-ayatnya lebih mudah
diingat.
3.2. Saran
Disarankan kepada pembaca, agar lebih memahami tentang fashahah agar lebih baik mencari referensi lain selain makalah ini. Karena makalah ini jauh dari kat sempurna untuk dijadikan sebuah buku pedoman dalm sistem pembelajaran dan penulis mengaharapkan kritik dan saran dari bapak dosen untuk perbaikan makalah ini
9
DAFTAR PUSTAKA
Idris, Mardjoko. 2007. Ilmu Balaghah Antara al-Bayan dan al-Badi‟, cet.I.
Yogyakarta: Teras.
Hasan, Abd al-Hafidz. 2010. Ilmu al-Ma‟ani: Dirasah Nadzariyyah tadzbiiqyiyah.
Mesir: Maktabah al-Adab.
Al-Jarim, Ali dan Musthafa Amin. 2011. Al-Balaghatul Waadhihah, ter. IX.
Bandung: Sinar Baru Algensindo.
Al-Sa‟id Al-Baz, al-Madkhal ila al-Balaghah al-„Arabiyah, Kairo: Maktabah al-Zahra, tth
Al-Quran dan Terjemahannya
Mattson, Ingrid. 2013. Ulumul Quran Zaman Kita. Jakrta: Zaman.
Juhdi Rifai, Pendekatan Ilmu Balaghah Dalam Shafwah al-Tafasir Karya „Ali al-Shabuny, Jurnal Ulunnuha, Vol. 8, No. 2, Desember 2019..
No comments:
Post a Comment