Kisah Macan dan Keledai
KALAM KHABAR & KALAM INSYA’
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Khabar
Khabar ialah pembicaraan yang
mengandung kemungkinan benar atau bohong semata-mata dilihat dari
pembicaraannya itu sendiri. Jika seseorang mengucapkan suatu kalimat
(kalâm ) yang mempunyai pengertian yang sempurna, setelah itu kita bisa
menilai bahwa kalimat tersebut benar atau salah maka kita bisa menetapkan bahwa
kalimat tersebut merupakan kalâm khabar. Dikatakan benar jika maknanya
sesuai dengan realita, dan dikatakan dusta (kadzb) jika maknanya bertentangan
dengan realita. Contoh,
قال الطالب : لن
يحضر الأستاذ أحمد في المناقشة غدا
Ucapan mahasiswa di atas bisa
dikategorikan kalâm khabari. Setelah mahasiswa tersebut mengucapkan
kalimat itu kita bisa melihat apakah ucapannya benar atau salah. Jika ternyata
ustadz Ahmad keesokan harinya tidak datang dalam perkuliahan, maka ucapan
mahasiswa tersebut benar. Sedangkan jika ternyata keesokan harinya ustadz Ahmad
dating pada perkuliahan, maka kalimat tersebut tidak benar atau dusta.
B. Tujuan kalâm
khabari
Setiap ungkapan
yang dituturkan oleh seseorang pasti mempunyai tujuan tertentu. Suatu kalâm
khabari biasanya mempunyai dua tujuan, yaitu fâidah alkhabar dan lâzim
al-faidah.
1.
Fâidah
al-khabar adalah suatu kalâm khabari yang diucapkan kepada orang
yang belum tahu sama sekali isi perkataan itu. Contoh,
كان
عمروابن عبدالعزيز لا يأخذ من بيت المال شيأ ولا يجزي على نفسه من الفيء درهما
Pada kalimat di
atas mutakallim ingin memberi tahu kepada mukhâthab bahwa
Umar bin Abdul Aziz tidak pernah mengambil sedikit pun harta dari baitul
mal. Mutakallim berpraduga bahwa mukhâthab tidak mengetahui
hukum yang ada pada kalimat tersebut.
2.
Lâzim
al-fâidah adalah suatu kalâm khabari yang diucapkan kepada
orang yang sudah mengetahui isi dari pembicaraan tersebut, dengan
tujuan agar orang itu tidak mengira bahwa si pembicara tidak tahu.
ذهبت إلى
الجامعة متأخرا
Selain kedua
tujuan utama dari kalâm kahabar terdapat tujuan-tujuan lainnya yang merupakan
pengembangan dari tujuan semula. Tujuan-tujuan tersebut adalah sbb:
1.
Istirhâm (minta
dikasihi)
Dari segi bentuknya
kalâm ini berbentuk khabar (berita), akan tetapi dari segi
tujuannya mutakallim ingin dikasihi oleh mukhâthab.
Contoh kalâm khabari dengan tujuan istirhâm adalah do'a
nabi Musa yang dikutip Alquran,
رب إنى لما
أنزلت إلي من خير فقير
Tuhanku, aku ini sangat membutuhkan
kebaikan yang Engkau berikan padaku.
2.
Izhhâr
al-dha'fi (memperlihatkan kelemahan) seperti do'a Nabi Zakaria dalam
Alquran.
ربي إنى
وهن العظم مني واستعل الرأس شيبا
(Tuhanku
sesungguhnya aku telah lemah tulangku dan kepalaku telah penuh uban)
3.
Izhhâr
al-tahassur (memperlihatkan penyesalan) seperti doa Imran bapaknya Maryam
yang dihikayatkan dalam Alquran.
رب إني
وضعتها أنثى والله أعلم بما وضعت
(Tuhanku,
aku telah melahirkan ia wanita dan Allah mengetahui apa yang ia lahirkan).
4.
Al-Fakhr (sombong)
seperti perkataan Amru bin Kalsum :
إذا بلغ
الفطام لنا صبي— تخر له الجبائر ساجدينا
(Jika seorang anak kami telah lepas menyusu, semua orang
sombong akan tunduk menghormatinya).
5.
Dorongan bekerja
keras
Dari segi bentuk
dan isinya kalâm ini bersifat khabari (pemberitahuan), akan
tetapi maksud mutakallim mengucapkan ungkapan tersebut
agar mukhâthab bekerja keras. Contoh kalâm khabari untuk tujuan ini
adalah surah Thahir bin Husain kepada Abbas bin Musa al-Hadi yang terlambat membayar
upeti.
C. Jenis-jenis kalâm
khabari
Kalâm Khabari adalah kalimat yang
diungkapkan untuk memberitahu sesuatu atau beberapa hal kepada mukhâthab. Untuk
efektifitas penyampaikan suatu pesan perlu dipertimbangkan kondisi mukhâthab.
Ada tiga keadaan mukhâthab yang perlu dipertimbangkan dalam mengungkapkan kalâm
khabari. Ketiga keadaan tersebut adalah sbb:
1. Mukhâthab yang belum tahu apa-apa (خالى
الذهن)
Mukhâthab khâlidzdzihni adalah
keadaan mukhâthab yang belum tahu sedikit pun tentang informasi yang
disampaikan. Mukhâthab diperkirakan akan menerima dan tidak ragu-ragu
tentang informasi yang akan disampaikan. Oleh karena itu tidak
diperlukan taukîd dalam pengungkapannya. Bentuk kalâm khabari pada
model pertama ini dinamakan kalâm khabari ibtidâî. Contoh:
السيارة ساقطة في الوادي
2. Mukhâthab ragu-ragu
(متردد
الذهن)
Jika mukhâthab diperkirakan
ragu-ragu dengan informasi yang akan kita sampaikan maka perlu diperkuat dengan
taukîd. Keraguan mukhâthab bisa disebabkan dia mempunyai informasi lain yang
berbeda dengan informasi yang kita sampaikan, atau karena keadaan mutakallim
yang kurang meyakinkan.
Untuk menghadapi mukhâthab jenis
ini diperlukan adat taukîd seperti ‘- إنَّ- أن قد-ل ’.
Bentuk kalâm ini dinamakan kalâm khabari thalabi طلبي. خبر Contoh:
إن السيارة ساقطة.
3. Mukhâthab yang
menolak (إنكارى)
Kadang juga terjadi mukhâthab yang
secara terang-terangan menolak informasi yang kita sampaikan. Penolakan
tersebut mungkin terjadi karena informasi yang kita sampaikan bertentangan
dengan informasi yang dimilikinya. Hal ini juga bisa terjadi karena dia tidak
mempercayai kepada kita. Untuk itu diperlukan adat taukîd lebih dari satu untuk
memperkuat pernyataannya. Jenis kalâm model ini dinamakan kalâm khabari inkâri. Contoh:
والله إن السيارة لساقطة
Dari paparan di atas tampak bahwa
penggunaan taukîd dalam suatu kalâm mempunyai implikasi terhadap makna. Setiap
penambahan kata pada suatu kalimat akan mempunyai implikasi terhadap maknanya.
Seorang filsuf Ya’qub bin Ishaq al-Kindi bertanya kepada Abu Abbas Muhammad
bin Yazid al-Mubarrid, ”Saya menemukan sesuatu yang sia-sia dalam ungkapan
Arab. Orang-orang berkata:
عبد الله قائم, وإن عبد الله قائم, وإن عبد الله
لقائم
Makna kalimat-kalimat tersebut sama
Abu al-Abbas al-Mubarrid berkata, “Ketiga kalimat tersebut tidak sama artinya.
Kalimat قائم الله عبد merupakan
informasi mengenai berdirinya Abdullah. Kalimat قائم الله وإن
عبد merupakan jawaban dari pertanyaan seseorang. Sedangkan
kalimat لقائم الله عبد وإن merupakan
jawaban atas keingkaran orang yang menolaknya.
2. KALAM
INSYA’I
A. Pengertian kalâm
insyâi
Kata ' إنشاء '
merupakan bentuk mashdar dari kata ' أنشأ '.
Secara leksikal kata tersebut bermakna membangun, memulai, kreasi, asli,
menulis, dan menyusun. Dalam ilmu kebahasaaraban insyâi merupakan salah satu
nama mata kuliah yang mengajarkan menulis.
Insyâi sebagai kebalikan dari
khabari merupakan bentuk kalimat yang setelah kalimat tersebut dituturkan kita
tidak bisa menilai benar atau dusta. Hal ini berbeda dengan sifat kalâm khabari
yang bisa dinilai benar atau dusta. Dalam terminologi ilmu ma’âni kalâm insyâ'i
adalah,
مالا يحتمل الصدق
والكذب
Kalâm insyâi adalah suatu kalimat
yang tidak bisa disebut benar atau dusta Jika seorang mutakallim mengucapkan
suatu kalâm insyâi, mukhâthab tidak bisa menilai bahwa ucapan mutakallim itu
benar atau dusta. Jika seorang berkata ' إسمع ',
kita tidak bisa mengatakan bahwa ucapannya itu benar atau dusta. Setelah kalâm
tersebut diucapkan yang mesti kita lakukan adalah menyimak ucapannya.
B. Pembagian Kalâm
Insyâi
Secara garis besar kalâm
insyâi ada dua jenis, yaitu insyâi
thalabi dan insyâi ghair thalabi. Kalâm yang termasuk
kategori insyâi thalabi adalah Amr, nahyu, istifhâm,
tamannî, dan nidâ. Sedangkan kalâm yang termasuk
kategori ghair thalabi adalah ta'ajjub, al-dzamm, qasam,
kata-kata yang diawali dengan af'âl alrajâ. Jenis-jenis kalâm insyâi
ghair thalabi tidak termasuk ke dalam bahasan ilmu ma’âni. Sehingga jenis-jenis
kalimat tersebut tidak akan dibahas dalam buku ini. Insyâi
thalabi menurut para pakar balâghah adalah :
ما يستدعي مطلوبًا غير حاصل وقت الطلب
لامتناع تحصيل الحاصل وهو المقصود بالنظر هاهنا
Kalâm insyâi thalabi adalah suatu
kalâm yang menghendaki adanya suatu tuntutan yang tidak terwujud ketika kalâm
itu diucapkan. Dari definisi di atas tampak bahwa pada kalâm
insyâi thalabi terkandung suatu tuntutan. Tuntutan tersebut
belum terwujud ketika ungkapan tersebut diucapkan. Kalimat-kalimat
yang termasuk kategori insya thalabi adalah,
1. Amr
Secara
leksikal amr bermakna perintah. Sedangkan dalam terminologi ilmu
balâghah amr adalah,
طلب الفعل على وجه
لأستعلاء
Tuntutan mengerjakan sesuatu kepada
yang lebih rendah.
Al-Hâsyimi (1960) mendefinisikan
jumlah al-amr (kalimat perintah) sebagai tuturan yang disampaikan oleh pihak
yang lebih tinggi kedudukannya kepada pihak yang lebih rendah agar melaksanakan
suatu perbuatan.
Untuk menyusun suatu kalâm
amr ada empat shîgah yang biasa digunakan:
a) Fi'l
al-amr
Semua kata kerja yang ber-shîgah
fi'l amr termasuk kategori thalabi. Contoh:
خذ
الكتاب بقوة
Ambillah kitab itu dengan kuat!
b) Fi'l
mudhâri’ yang disertai lâm alamr
Fi'il mudhâri’ yang disertai
dengan lâm al-amr maknanya sama dengan amr yaitu perintah.
Contoh :
لينفق ذو سعة من
سعته
Hendaklah berinfak ketika dalam
keleluasaan
c) Isim
fi'il amr
Kata isim yang
bermakna fi'il (kata kerja) termasuk shigat yang
membentuk kalâm insyâi thalabi.
Contoh :
حي على الصلاة حي
على الفلاح
(Mari melaksanakan shalat! Mari
menuju kebahagiaan!)
d) Mashdar pengganti fi'il
Mashdar yang posisinya
berfungsi sebagai pengganti fi'il yang dibuang bisa juga
bermakna amr. Contoh :
سعيا فى الخير
(Berusahalah pada hal-hal yang
baik) Dari keempat shîgah tersebut makna amr pada dasarnya
adalah perintah dari yang lebih atas kepada yang lebih rendah. Namun demikian
ada beberapa makna Amr selain dari makna perintah. Makna-makna
tersebut adalah do'a, iltimâs (menyuruh yang
sebaya), tamannî (berangan-angan), tahdîd (ancaman), ta'jiz (melemahkan), taswiyah (menyamakan), takhyîr (memilih),
dan ibâhah (membolehkan).
2. Nahyu
Makna nahyu secara
leksikal adalah melarang, menahan, dan menentang. Sedangkan dalam terminologi
ilmu balâghah nahyu adalah,
طلب الكف عن الفعل
على وجه الإستعلاء
(Tuntutan meninggalkan suatu
perbuatan dari pihak yang lebih tinggi).
3. Istifhâm
Kata ' استفهام '
merupakan bentuk mashdar dari kata ' استفهم '.
Secara leksikal kata tersebut bermakna meminta pemahaman/pengertian. Secara
istilah istifhâm bermakna
طلب العلم بالشيء
(menuntut pengetahuan tentang
sesuatu).
Kata-kata yang digunakan
untuk istifhâm ini ialah :
أ-هل - ما- من –
متى – أيان – كيف – أين – كم – أي- أني
Suatu kalimat yang menggunakan kata
tanya dinamakan jumlah istifhâmiyyah, yaitu kalimat yang berfungsi untuk
meminta informasi tentang sesuatu yang belum diketahui sebelumnya dengan
menggunakan salah satu huruf istifhâm.
4. Nidâ ( panggilan)
Secara
leksikal nidâ artinya panggilan. Sedangkan dalam terminology ilmu
balâghah nidâ adalah,
طلب الإقبال بحرف نائب مناب "أنادى" أدعو" المنقول من الخبر الى الإنشاء
Nidâ adalah
tuntutan mutakallim yang menghendaki seseorang agar
menghadapnya. Nidâ menggunakan huruf yang menggantikan lafazh "unâdî"
atau "ad'û" yang susunannya dipindah dari kalâm
khabari menjadi kalâm insyâi.
Huruf nidâ ada delapan,
yaitu, hamzah ( ء), ay ( أي ), yâ ( يا ), â ( آ ), âi آي)
), ayâ ( أيا ), hayâ ( هيا ),
dan wâ ( .(وا
5. Tamannî
Kalimat tamannî (berangan-angan)
adalah kalimat yang berfungsi untuk menyatakan keinginan terhadap sesuatu yang
disukai, tetapi tidak mungkin untuk dapat meraihnya.
طلب الشيء المحبوب الذي لا يرجى ولا يتوقع حصوله
Menuntut
sesuatu yang diinginkan, akan tetapi tidak mungkin terwujud. Ketidakmungkinan
terwujudnya sesuatu itu bisa terjadi karena mustahil terjadi atau juga sesuatu
yang mungkin akan tetapi tidak maksimal dalam mencapainya. Syi’ir di bawah ini
merupakan contoh kalâm tamannî yang mengharapkan sesuatu yang mustahil terjadi,
ألا ليت الشباب يعود يوما—فأخبركم بما فعل المشيد
Aduh,
seandainya masa muda itu kembali sehari saja Aku akan mengabarkan kepada kalian
Bagaimana yang terjadi ketika sudah tua
Pada
syi’ir di atas penyair mengharapkan kembalinya masa muda walau hanya sehari.
Hal ini tidak mungkin, sehingga dinamakan tamannî. Tamannî juga ada pada
ungkapan yang mungkin terwujud (bisa terwujud) akan tetapi tidak bisa terwujud
karena tidak berusaha secara maksimal. Dalam Alquran Allah berfirman,
يا ليت لنا مثل ما أوتي قارون
Aduh,
seandainya aku dikaruniai harta seperti Qarun.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kalâm khabari ialah suatu ungkapan yang
mengandung kemungkinan benar atau bohong dilihat dari teksnya itu sendiri. Kalâm
khabari mempunyai dua tujuanutama; pertama untuk memberi
tahu mukhâthab tentang suatu informasi kedua agar orang yang diajak
bicara tidak mengira bahwa ia tidak mengetahuinya. Selain
kedua tujuan utama ada tujuantujuan lainnya, yaitu istirhâm, izhhâr
aldla’fi, izhhâr al-tahassur, al-fakhr dan dorongan bekerja
keras.
Kalâm khabari ada tiga jenis,
yaitu ibtidâi, thalabi, dan inkâri. Kalâm
insyâi adalah kalâm yang setelah ucapan itu dituturkan tidak
bisa dinilai benar atau dusta. Kalâm insyâi merupakan kebalikan
dari kalâm khabari. Kalâm yang termasuk
kategori insyâi adalah kalâm
amr, nahyu, istifhâm, nidâ,
dan tamannî.
DAFTAR PUSTAKA
M.
Sholehuddin Shofwan, Penganta Memahami Nadzom Jauharul Maknun,
Jombang : Darul-Hikmah, 2007 diakses pada
tanggal 19 maret 2022
http://repository.uin-suska.ac.id/20791/7/7.%20BAB%20II%20%281%29.pdf diakses pada tanggal 19 2022
Majaz
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian Majaz
المجاز
هو اللفظ المستعمل في غير ما وضع له لعلاقة مع قرينة مانعة من إرادة المعنى السابق.
Majaz adalah
adalah lafadz yang di gunakan pada arti bukan semestinya karena ada hubungan
beserta adanya qarinah (petunjuk) yang mencegah dari arti yang lalu (asli).[1]
Dalam
kitab البلاغة
الميسرة karangan Syekh Abdul Aziz bin Ali Al
Hazby, bahwa pengertian majaz yakni
المجاز
هو : لفظ استعمال في غير معناه الاصلي , كأسد في قولك : زيد أسدا . ولابد من علاقة
بين المعنى الاصلي والمجا زي , ومن قرينة تمنع من ارادة المعنى الاصلي. [2]
Hubungan antara
makna hakiki dan makna majazi itu kadang-kadang musyabahah (keserupaan) dan
kadang- kadang lain dari itu (ghairu musyabahah). Dan qarinah itu ada kalanya
lafdziyah dan adakalanya haliyah.[3]
2.2
Macam-macam majaz
Majaz pada
garis besarnya ada dua jenis, yaitu majaz lughowi dan majaz ‘aqli ;
2.2.1
Majaz lughowi.
Majaz lughowi
adalah salah satu jenis majaz yang ‘illahnya didasarkan pada aspek bahasa.
Majaz ini terbagi kepada dua jenis, yaitu majaz isti’arah dan majaz mursal.
1.
Majaz isti’arah
الإستعارة
من المجاز اللغوي , وهي تشبيه خدف أحد طرفيه, فعلاقتها المشابهة دائما
Isti’aroh
adalah satu bagian dari majaz lughowi. Isti’aroh adalah tasybih yang dibuang
salah satu thorf-nya. Oleh karena itu hubungan antara makna haqiqi dengan makna
majazi adalah musyabahaah selamanya.
Isti’aroh
terbagi menjadi:
·
Ditinjau dari musyabbah bih
a)
Tashrihiyyah yaitu isti’aroh yang musyabbah bih-nya disebutkan. Contoh: كتاب أنزلناه إليك لتخرج الناس من
الظلمات إلى النّور (ابراهيم : 1)
Kata الظلماتdigunakan untuk makna kesesatan. Dan
kata النّور digunakan untuk makna hidayah dan iman.
Hubungan antara makna hakiki dan makna majazi adalah musyabahah. Qarinahnya
adalah haliyah.
b)
Makniyyah yaitu isti’aroh yang musyabbah bih-nya dibuang. Contoh: ربّ إنّي وهن العظم منّي واشتعل الرأس
شيبا (مريم:4)
Kata الرأس
(kepala)
diserupakan dengan bahan bakar. Qarinahnya adalah menyandarkan kata “menyala”
pada “kepala”
·
Ditinjau dari segi lafalnya
a)
Ashliyyah yaitu apabila kata benda yang dijadikan isti’aroh berupa isim jamid.
Contoh: يا
شمس الزّمان وبدره # وإن لامنى فيك السها والفراقداحبّك
Aku cinta kamu,
wahai matahari dan bulan zaman ini, sekalipun bintang-bintang yang samar dan
yang jauh mencaci-makiku karena menyukaimu.
b)
Taba’iyyah yaitu apabila lafadz yang dijadikan isti’aroh berupa isim musytaq
atau fi’il (kata kerja).
Contoh:سكت عن موسى الغضب أخذ الألواح
( الأعراف : 154) ولمّا
·
Ditinjau dari segi pengertian yang menghimpun keduanya
a)
Murasysyahah yaitu isti’arah yang disertai penyebutan kata-kata yang relevan
dengan musyabbah bih. Contoh:
أولئك
الذين اشتروا الضلالة بالهدى فما ربحت تجارتهم (البقرة : 16)
b)
Mujarradah isti’arah yang disertai dengan penyebutan kata yang
relevan dengan musyabbah. Contoh:
كان
فلان أكتب الناس إذا شرب قلمه من دواته أو غنى فوق قرطاسه
c)
Muthlaqah yaitu isti’arah yang tidak disertai penyebutan kata-kata yang
relevan dengan musyabbah bih maupun musyabbah atau disebutkan kedua-duanya.
Contoh:
[4] وقد
كتبت أيدى الربيع صحائفا كأنّ
سطور السرو حسنا سطورها
ينقضون
عهد الله (البقرة : 27)
·
Ditinjau dari wajhu syabah
a)
Qaribah yaitu isti’arah yang mudah dimengerti sisi perpaduannya.
Contoh: أسدا يخطب رأيت
b)
Gharibah yaitu isti’arah yang sulit dimengerti sisi perpaduannya.
Isti’arah
gharibah dibagi menjadi beberapa bentuk, diantaranya:
§ Kedua
ujungnya hissi dan wajhu syabahnya hissi
Contoh: طه : 88) ) فأخرج لهم عجلا جسدا له
خوار
§ Semua
ujungnya hissi dan wajhu syabahnya aqli(abstrak).
Contoh:وأية لهم الليل نسلخ منه النهار
§ Semua
ujungnya hissi dan wajhu syabahnya berbeda(ikhtilaf).
Contoh:رأيت شمسا وأنت تريد إنسانا كالشمس
§ Semua
ujungnya aqli(abstrak, dan wajhu syabahnyapun aqli.
Contoh:من بعثنا من مرقدنا
§
Musta’ar minhu hissi, dan musta’ar lah aqli. Sedangkan wajhu syabahnyapun aqli.
Contoh:فاصدع بما تؤمر
§
Musta’ar minhunya aqli, dan musta’ar lahnya hissi, sedangkan wajhu syabahnya
aqli.
§ Contoh:إنّا لمّا طغى الماء
·
Ditinjau dari kedua ujungnya
a)
Inadiyah yaitu yang kedua ujungnya tidak bisa bersatu sebab bertolak belakang
(berlawanan), seperti mengisti’arahkan yang ma’dum pada yang maujud, orang yang
mati kepada yang hidup, seperti: رأيت الميّت في المدرسة
Isti’arah
inadiyah dibagi menjadi dua macam:
a.
Tamlihiyah (agar tampak lucu), seperti:أسدا في المسجد رأيت
b.
Tahakkumiyah ( mengolok-olok), seperti: أسدا أي تريد جبّانا رأيت
b)
Wifaqiyah yaitu yang kedua ujungnya itu dapat bersatu, seperti pengisti’arahan
penghidupan pada pemberian hidayah[5]. Seperti firman Allah:كان ميتا فأحييناه أومن
·
Isti’arah tamtsiliyah
الإستعارة
التمثيلية تركيب أستعمل في غير ما وضع له لعلاقة المشابهة مع قرينة من إرادة
المعنى الأصلي
Isti’arah
tamtsiliyah adalah suatu susunan kalimat yang digunakan bukan pada makna
aslinya karena ada hubungan keserupaan ( antara makna hakiki dan makna majazi)
disertai adanya qarinah yang menghalangi pemahaman terhadap kalimat tersebut
dengan maknanya yang asli.
Contoh: أنت ترقم على الماء
"
engkau melukis dipermukaan air”. Kalimat ini
disampaikan kepada orang yang menekuni suatu urusan yang tidak mungkin dapat ia
capai dengan tuntas[6].
2.
Majaz mursal
Majaz
mursal adalah:
الكلمة
المستعملة قصدا في غير معناها الأصلي لملاحظة علاقة غير (المشابهة) مع قرينة دالة
على عدم إرادة المعنى الوضعي.
“majaz mursal
adalah kata yang digunakan bukan untuk maknanya yang asli karena adanya
hubungan selain musyabahah, serta adanya qarinah yang menghalangi pemahaman
dengan makna asli.”
Hubungan makna
asli dan makna majazi dalam majaz mursal antara lain:
1.
As- sababiyah, yaitu menyebutkan sebab sedangkan yang dimaksud adalah musabbab.
Contoh:رعت الماشية الغيث, أي النبات
2.
Al- musabbabiyah, yaitu menyebutkan musabbab sedangkan yang dimaksud adalah
sabab.
Contoh:(وينزّل لكم من السّماء رزقا) ( المؤمن:13 )
أي: المطر يسبّب الرزق
3.
Al-kulliyah, yaitu menyebutkan keseluruhan sedangkan yang dimaksud adalah
sebagian.
Contoh:(يجعلون أصابعهم في اذانهم) (البقرة 19 )أي
أناملهم
4.
Al-juz’iyah, yaitu menyebutkan sebagian sedangkan yang dimaksud adalah
seluruhnya.
Contoh: فرجعناك إلى أمّك كي تقرّعينها
ولاتحزن
Kata yang
bergaris bawah adalah majaz, karena yang dimaksud bukan hanya mata, tetapi
manusia.
5.
I’tibaaru maa kaana, menyebutkan hal yang terjadi sebelumnya namun yang
dimaksudkan adalah hal yang akan terjadi.
Contoh: واتوا اليتامى أموا لهم (النساء:2)
Kata yang
bergaris bawah adalah majaz, karena Allah memerintah untuk memberikan harta itu
pada anak yatim yang telah dewasa. Jadi, yang dimaksud adalah orang-orang yang
justru telah meninggalkan usia yatimnya.
6.
I’tibaaru maa yakuunu, yaitu menyebutkan hal yang akan terjadi tapi yang
dimaksud adalah hal yang telah terjadi.
Contoh:
) (نوح:27 إنّك إن تذرهم
يضلّوا عبادك ولا يلدوا إلا فاجرا كفارا
Kata yang
bergaris bawah adalah majaz, karena anak yang baru dilahirkan itu tidak bisa
melakukan maksiat dan tidak dapat berbuat kekufuran tetapi mungkin akan
melakukan itu setelah masa kanak-kanak.
7.
Al- mahalliyah, yaitu menyebutkan tempat perbuatan tapi yang dimaksud adalah
yang melakukan perbuatan itu
Contoh: فليدع نادية (العلق :17)
Kata yang
bergaris bawah adalah tempat berkumpul, akantetapi yang dimaksud adalah
orang-orang yang berkumpul ditempat itu, baik keluarga maupun para pembantunya
8.
Al- haliyah, yaitu menyebutkan hal yang menempati suatu tempat namun yang
dimaksud adalah tempatnya.
Contoh:ففي رحمة الله هم فيها خالدون, أي
الجنّة
2.2.2
Majaz ‘aqli
Majaz ‘aqli
adalah:
إسنادالفعل,
أو ما في معناه (من أسم فاعل , أو إسم مفعول, أو مصدر)إلى غير ما هو له في الظاهر,
من المتكلم, لغلاقة مع قرينة تمنع من أن يكون الإسناد إلى ما هو له.
“ menyandarkan
fi’il atau kata yang menyerupainya (isim fa’il, maf’ul, atau masdar) pada yang
tidak sebenarnya, secara dhohir mutakallim karena adanya hubungan dan disertai
qarinah yang menghalangi dipahaminya sebagai penyandaran yang haqiqi.
Hubungan majaz
aqli diantaranya:
1.
Penyandaran kepada waktu fi’il
Contoh: من سرّه زمن ساءته أزمان
Kejelekan dan
kebaikan disandarkan pada zaman, padahal zaman bukanlah pelakunya.
2.
Penyandaran kepada tempat
Contoh: وجعلنا الأنهار تجرى من تحتهم
Mengalir
disandarkan kepada sungai, padahal yang dimaksud adalah airnya yang mengalir.
3.
Penyandaran kepada sebab
Contoh: بنت الحكومة كثيرا من المدارس
Pemerintah
tidak membangun sekolah-sekolah dengan tangan mereka sendiri, tetapi mereka
memerintah.
4.
Penyandaran kepada masdar
Contoh: سيذكرني قومي إذا جدّ جدّهم
Bersungguh-sungguh
disandarkan pada kesungguhan, tetapi yang dimaksud adalah menyandarkan pada
orang yang bersungguh-sungguh,
5.
Penyandaran isim mabni fa’il kepada maf’ulnya
Contoh: لاعاصم اليوم من أمر الله إلاّ من
رّحم
Yang dimaksud
adalah isim maf’ul yaitu معصوم
6.
Penyandaran isim mabni maf’ul kepada fa’ilnya
Contoh:
(: 45الإسراء)وإذا
قرأت القران جعلنا بينك وبين الذين لايؤمنون بالاخرة حجابا مستورا
Yang dimaksud
adalah isim fa’ilnya yaitu ساترا
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Majaz secara
garis besar ada dua yaitu majaz lughawi dan majaz aqli. Majaz lughawi adalah
penggunaan lafazh bukan untuk makna sebenarnya karena adanya ‘alaqah baik
musyabahah maupun ghair musyabahah. Sedangkan majaz aqli adalah penisbatan kata
kerja (fi’il) atau yang semakna dengannya kepada lafadz yang bukan sebenarnya
karena adanya ‘alaqah.
Majaz lughowi terbagi kepada dua, yaitu majaz isti’arah dan majaz mursal.
Isti’arah adalah majaz yang ‘alaqah-nya musyabahah (keserupaan). Sedangkan
mursal adalah majaz lughowi yang ‘alaqah –nya ghair musyabahah.
v
Macam-macam isti’arah:
a.
Ditinjau dari musyabbah bih: Tashrihiyyah dan Makniyah
b.
Ditinjau dari segi lafal: asliyah dan taba’iyah
c.
Ditinjau dari segi pengertian yang menghimpun keduanya: murasyahah, mujarradah
dan muthlaqah.
d.
Ditinjau dari wajhu syabah: qaribah dan gharibah.
e.
Ditinjau dari kedua ujungnya: inadiyah dan wifaqiyah.
f.
Isti’arah tamtsiliyah.
v Macam-
macam ‘alaqah majaz mursal: sababiyah, musababiyah, kulliyah ,juz’iyah,
i’tibaaru maa kaana, i’tibaaru maa yakuunu, mahaliyah, dan haliyah.
v
Macam-macam hubungan majaz aqli:penyandaran kepada waktu fi’il, tempat, masdar,
sebab,isim mabni maf’ul kepada fa’ilnya,isim mabni fa’il kepada maf’ulnya.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Hasyimi
As-Sayyid Al-Marhum Ahmad, Jawahir Al-Balaghoh, Haromain.
Akhdhori Imam,
Jauharul Maknun, terjemahan: Abdul Qadir Hamid, Surabaya, Al- Hidayah.
Al-Jarim Ali
& Musthafa Amin. 2010. Al-Balaghatul Waadhihah. Surabaya:Toko
Kitab Al-Hidayah.
Dayyab Hifni
bek. 1991. Qowaid AlLughoh Al Arabiyah,terjemahan: DRS.H. Chatibul
Umam. Jakarta:Darul U lum.